Segera setelah Soeharto mengambil alih kekuasaan
melalui supersemar, tangan tangan dingin kekuasaan dunia memindahkan topeng
penjajahan dari penguasaan fisik bangsa pribumi kepada penguasaan ekonomi
kapitalisme yang berawal dari Indonesia Investment Conference 1967 di Jenewa,
Swiss.
Ini adalah konferensi investasi paling manipulatif dalam sejarah ekonomi bangsa
Indonesia. Para kapitalis berdatangan ke Indonesia untuk melempar dadu dan
bermain monopoli. Mereka berdalih berkunjung sebagai investor, datang untuk
membantu membangun ekonomi negeri ini. Namun, sebenarnya mereka adalah bandit
kapitalis. Mereka memilih lahan-lahan yang mereka inginkan dari Aceh hingga
Papua. Mereka menggali tanah-tanah emas di Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Mereka
meledakkan gunung-gunung untuk merampok emas serta uranium, mereka menyelam ke
dasar samudra untuk menambang minyak dan gas alam Indonesia.
Konferensi
tersebut dihadiri oleh para kapitalis dunia industry, seperti David
Rockefeller, David Roderick, dan Sir Eric Roll. Sementara itu, dari pihak
Indonesia hadir H.Adam Malik, Sri Sultan Hamengkubuwono IX, dan Gandasubrata.
Pertemuan tersebut juga dihadiri pelaku usaha Amerika Serikat dan Eropa Barat,
di antaranya Williams R.Adam, Giovanni Agneli, Eberhad Herzog, dan puluhan
eksekutif perusahaan kelas dunia lainnya. Di sinilah mereka menanam bibit
kapitalisme, menjajah ekonomi bangsa, dan memanennya tiga puluh tahun kemudian.
Freeport
mendapatkan bukit besar Erstberg, dan kemudian Grasberg yang mengandung emas
dan tembaga di Papua Barat. Sebuah konsorsium Eropa juga mendapat nikel di
sana. Raksasa Alcoa mendapat bagian terbesar dari bauksit di Indonesia. Sekelompok
perusahaan Amerika, Jepang, dan Prancis mendapat jatah hutan-hutan tropis di
Sumatra dan Kalimantan. Undang-undang tentang penanaman modal asing kemudian
buru-buru disodorkan kepada Soeharto untuk mengesahkan “perampokan” ini agar
bebas pajak untuk lima tahun pertama.